Internet merupakan satu hal yang tidaik bisa dilepaskan dari genggaman sebagian besar masyarakat. Mengapa genggaman? Karena di masa kini semua akses yang pada masa lalunya hanya bisa dilakukan melalui kantor, ruangan, bahkan meja, kini dengan sangat mudah dijangkau hanya dari genggaman.
Generasi Z telah membawa pasar internet naik tajam dan
memaksa generasi-generasi diatasnya untuk mengikuti tren tersebut. Terkesan
mudah untuk generasi Z dan sekitarnya karena beberapa kalangannya sudah
diberikan teknologi sejak dia belum genap berumur 5 tahun dan sebaliknya, akan
sangat menantang bagi generasi sebelumnya karena ini merupakan hal baru
baginya. Menjamurnya tempat kursus computer dan beberapa bidang didalamnya
membuktikan bahwa perlu usaha lebih dari generasi lama untuk mengikuti tren
agar tetap survive bersama persaingan baru ini.
Khususnya di tengah pandemic ini, kita bisa melihat
bagaimana konsumsi internet dan segala teknologinya benar-benar menjadi senjata
utama dalam berbagai bidang termasuk pembelajaran, pekerjaan, bahkan hingga
sektor hiburan. Dan lagi-lagi kembali memaksa generasi lama untuk menyesuaikan
diri bersama teknologi yang kian maju, mencari yang efektif dari berbagai
kemungkinan.
Melihat kemudahan yang begitu luar biasa dan ditambah
lagi pengguna yang menyasar berbagai kalangan, internet merupakan ladang yang
subur bagi pelaku usaha. Tidak terkecuali usaha yang berbau negative seperti
penipuan. Hal ini perlu dikupas lebih dalam terlebih lagi dibagian mengapa penipuan
ini ada dan bagaimana penipuan ini berhasil melancarkan aksinya? Jawabannya
adalah adanya celah. Indonesia bisa dibilang termasuk negara yang terbilang
baru mengenal teknologi termasuk internet sehingga masyarakat terbagi pada 2
golongan besar, yaitu orang yang mudah menyesuaikan diri dengan adanya hal baru
dan orang yang terbilang lamban atau bahkan menolak kemajuan tersebut. Orang
yang mudah menyesuaikan diri dengan internet dan seluk beluknya akan dikenal
sebagai orang yang melek informasi. Sedangkan orang yang lamban dalam menerima
kemajuan bahkan menolaknya tentu mereka tidak se-peka orang yang melek
informasi. Itulah sasaran penipuan berbasis online, memanfaatkan adanya gap
untuk mengambil keuntungan. Lalu, bagaimana mungkin orang-orang bisa tertipu
dengan suatu hal di internet? Generasi lama telah terbiasa dengan media besar
seperti radio, koran, dan televisi dimana validitas dari informasinya dapat
dikatakan hampir valid seutuhnya karna mulai dari wartawan hingga penanggung
jawab memiliki andil besar atas nama baiknya. Namun berbeda dengan internet,
semua bisa menjadi sumber berita dengan diksi yang luar biasa tanpa tau
bagaimana keaslian tulisan atau hal yang disajikannya itu. Perbedaan inilah
yang dimanfaatkan untuk melancarkan maksud-maksud tertentu bisa berupa berita
hoax atau penipuan jual beli.
Generasi
Z dan individu-individu di generasi lain yang terbilang melek informasi ini
seperti memiliki tanggung jawab secara tidak langsung untuk meluruskan dan
memberantas hal hal seperti ini dengan caranya masing-masing. Mulai dari
melakukan report, menyebarluaskan informasi klarifikasi, hingga dengan cara
mengerjainya atau biasa disebut trolling. Hal-hal seperti ini sadar atau tidak
telah dilakukan banyak orang di media tanpa terorganisir. Mulai banyak orang
yang membantu meluruskan informasi sesuai pada bidangnya, mulai banyak yang
menceritakan pengalamannya, hingga mulai banyak gertakan kepada orang atau
pihak yang dianggap merugikan dengan istilah “spill the tea” ini
membuktkan bahwa adanya kesepakatan untuk bertanggung jawab tidak tertulis
disana.\
Movement
ini
dapat dibilang cukup baik secara keseluruhan, dimana budaya tolong menolong dan
saling bersimpati tetap berjalan dengan cara baru yang mungkin bagi sebagian
orang tidak terasa. Internet memang lahan bebas bagi semua orang, termasuk
membantu sesama untuk kebaikan bersama.
Nama:
Andrean Nur Fauzi
NIM:
18107030063
Mata
Kuliah: New Media Iklan
No comments: