Antara Tergiur dan Terhipnotis (Cerita Tertipu Iklan) - Andreannf

Monday, March 23, 2020

Antara Tergiur dan Terhipnotis (Cerita Tertipu Iklan)




Nama saya Andrean Nur Fauzi atau biasa dipanggil Andre. Saya besar dan tinggal di Sleman yang notabene secara peradaban berada satu tingkat dibawah kota Yogyakarta. Pada tahun ini di bulan November saya berumur 21 tahun. Dengan umur yang tidak bisa dikatakan remaja lagi dan telah banyak experience yang saya lewati. Sama seperti orang seumuranku, tanggung jawab sekarang akan lebih condong pada diri sendiri dan mengurangi tanggungan orang tua. Tidak dapat dipungkiri pula, semakin bertambahnya umur, kebutuhan akan suatu barang atau jasa pun meningkat. Terlebih lagi ada unsur “balas dendam” masa kecil yang baru mungkin dicapai pada umur sekian, khususnya yang berkaitan dengan hobi. Experience ini yang membuat saya kini memiliki beberapa cerita tersendiri dalam kehidupan, termasuk dalam menghadapi iklan.
Jika berpaku pada hobi, maka akan terlihat berbeda antara saya belasan tahun lalu dan saya di masa kini. Perbedaan itu sendiri dapat tergambar dari ketika saya kecil dulu, saya memandang sebuah hobi hanya sebatas suka karena keren, bagus, dan tampilannya menarik. Dan salah satu hobi saya yang masih tetap dari dulu hingga sekarang adalah bermusik, baik itu memainkan alat musik dan mendengarkan musik. Musik sendiri sudah bisa dibilang sebagai pelengkap atau yang sekarang dikenal dengan istilah “starterpack” saya. Dalam usia yang bisa dibilang anak-anak dulu, saya merasa cukup bahkan puas dengan keyboard “semi toy” yang bahkan pada masa itu dijual di samping ruas jalan UNY berdekatan dengan penjual kacamata. Namun seiring berjalannya waktu, ketika saya semakin mengerti akan sound quality dan eksplore musik yang lebih luas, saya menganggap keyboard tersebut sudah tidak terlalu layak bagi saya dan saya memutuskan untuk upgrade ke keyboard semi profesional, yaitu Yamaha PSR 450. Hal tersebut juga sama terjadi dalam kasus hobi saya yang lain yaitu mendengarkan musik. Pada usia anak-anak, saya tumbuh dengan speaker komputer basic dengan embel-embel “yang penting bunyi”. Dan tidak masalah bagi saya ketika itu. Karena pengetahuan saya pada masa itu cukup saya bisa mendengarkannya dan menghibur diri saya. Tapi hal itu turut berubah ketika saya menginjak usia remaja dan saya mulai sedikit-sedikit tahu dan mempunyai standar sendiri dalam bermusik, maka saya upgrade perlahan-lahan baik dari perangkat audio speaker maupun earphone. Mungkin hal ini lumrah juga terjadi pada masyarakat umum. Bahwa semakin seseorang tahu dan menggeluti dunia tersebut, maka semakin bertambah pula poin-poin yang ia harus penuhi. 
Bagi saya yang hobi mendengarkan musik dan traveling, tentu pilihannya akan jatuh pada earphone dibandingkan dengan headset. Bentuk yang sederhana dan tidak memakan tempat menjadi nilai plus bagi earphone itu sendiri. Kini earphone juga banyak yang memberikan experience setara bahkan melebihi sekelas headset sekalipun. Fitur noise canceling, suara yang mendukung surround, detail yang luar biasa, dll. menjadikan earphone semakin banyak peminatnya walau terkadang adanya gap antara earphone yang berkualitas dan standar cukup terasa dari segi harganya. Iklan tentang earphone ini sendiri menyebar ke berbagai platform dan perbedaan itu biasa ditentukan dari kualitas dan harga barang tersebut. Seperti pada contohnya JBL yang mengiklankan produknya dengan web series yang diupload di Youtube, JBL ingin mengambil hati para anak muda yang pada masanya sangat menggemari web series. Selain JBL, Vyatta sendiri mengambil jalur yang hampir sama dengan JBL namun bedanya ia lebih menekankan pada jalur influencer yang dirasa mampu memperkenalkan produk baru dengan lebih baik dan menyasar ke banyak orang. Ada pula Advance dan Polytron yang sempat mengiklankan produk audionya di jalur televisi karna pasarnya yang disasar adalah orang yang orientasinya pada brand menengah. Berdasarkan dari iklan dan user experience yang dipaparkan oleh review yang ada di Youtube, saya pun memutuskan untuk membeli produk tersebut, yaitu JBL Flip 3. Saya membelinya di salah seorang distributor yang saya temui di marketplace. Pada saat itu ia menjamin keaslian dan legalitas produk tersebut dan memang benar asli yang dibuktikan dengan adanya kartu garansi resmi dan hologram khusus. Dalam katalognya pun juga terdapat earphone dari JBL yang menurut iklan dan review di Youtube suara cukup bagus walaupun tidak terlalu mahal, dan saya pun memutuskan untuk membelinya juga, JBL C100SI. 
Sesampainya di rumah saya mencoba produk tersebut. Yang pertama saya coba adalah JBL Flip 3 karena harga yang cukup mahal dan ingin memastikan bahwa apa yang saya beli itu bagus dan sesuai dengan apa yang saya mau. Setelah puas bermain-main dengan Flip 3, saya lalu lanjut mencoba C100SI. earphone itu terasa fit in di telinga saya dan suaranya bagus bahkan mampu menyaingi kualitas earphone yang harganya 2 kali diatasnya. Namun setelah pemakaian  kurang lebih 3 bulan, harga murah dengan suara bagus ternyata harus ada yang dikorbankan. Ketahanan kabelnya tidak cukup baik dan kuat. Dan ini juga terjadi pada beberapa teman yang juga memiliki earphone tersebut. Dengan kasus yang sama, kabel sebelah kiri putus hanya dengan pemakaian tidak terlalu ekstrim, walaupun pada bagian kanan tetap bagus dan bisa digunakan seperti tidak terjadi apa-apa. 
Dengan owning experience yang tidak terlalu baik itu, anehnya saya justru membeli kembali earphone yang sama karena merasa suara yang diberikan sangat bagus dan sudah terlanjur cocok dengan karakter suaranya yang cukup bersih. Dan benar saja, setelah pemakaian sekitar 5 bulan, kabel bagian kiri menjadi korbannya. Setelah itu saya merasa cukup dengan earphone tersebut, lalu saya memutuskan untuk pindah ke merk lain dan  saya memutuskan untuk membeli Knowladge Zenith ZS3 yang juga saya dapat iklannya dari Youtube dan dengan pertimbangan review pula. Earphone jenis ini ternyata berbeda sekali dengan JBL yang pernah saya punya. Dari segi bentuk yang lebih menempel pada telinga, dari segi detail lebih terasa karena seri ini termasuk kedalam monitor earphone, dan dari jenis kabelnya terasa lebih baik karena antara kabel dan earphonenya disediakan opsi untuk lepas pasang sehingga lebih fleksibel. Terlebih lagi earphone ini upgradeable, baik dari kabelnya maupun dari earphonenya itu sendiri.  Setelah saya pakai dalam kurun waktu beberapa bulan, perbedaan tersebut yang saya kira akan jauh lebih baik justru malah membuat saya sedikit kurang nyaman karena perlu adaptasi lebih lagi dengan earphone ini, termasuk sempat merasakan pusing karena tidak terbiasa dengan driver earphone yang cukup kuat. Akhirnya saya merasa kecewa karena terlalu percaya kepada iklan dan langsung membelinya tanpa berpikir panjang.
Selain earphone, saya juga pernah tertipu iklan masa kecil yang mungkin juga dialami oleh beberapa anak pada masanya. Seperti yang kita tau, antara tahun 2005 hingga 2010, masa kecil anak-anak pada masa itu dihiasi dengan iklan sepatu Homyped dan Carvil yang menyediakan gimmick mainan berbagai macam. Pada masa itu, digambarkan mainannya sangatlah keren dan beda dari mainan pada umumnya dan saya pun meminta pada orang tua untuk membeli sepatu itu. Namun ketika sudah terbeli, mainannya hanya sebatas unik namun tidak sekeren dan se-fantastis yang digambarkan di televisi, mengingat imajinasi anak-anak pada masa itu berkaitan dengan film-film semacam Power Ranger. Pada masa itu sempat tidak suka dengan mainannya walaupun sudah terbeli dan cukup kecewa. Namun pemikiran anak-anak dan penggambaran visual pengiklan yang cukup menarik dengan gimmick-gimmick yang eye catching, saya pun tetap meminta untuk dibelikan sepatu tersebut ketika muncul gimmick model terbaru di iklankan.
Sebenarnya Gimmick ini sah-sah saja dilakukan oleh pengiklan.  mengingat sebuah produk memerlukan nilai x sebagai daya saing terhadap brand lain. Gimmick itu sendiri biasa disesuaikan dengan target pasar yang hendak dituju. Seperti misalnya ketika sebuah brand ingin memenangkan persaingan dengan target pasar anak-anak akan memberikan gimmick yang berkaitan dengan keseharian anak-anak seperti mainan ataupun aksesoris. Dan jika target pasarnya adalah remaja yang suka berolahraga maka gimmick tersebut bisa berupa aksesoris olahraga ataupun poster atlet. 
  Tidak hanya gimmick untuk memenangkan pasar, produsen juga terkadang melakukan apa yang disebut sebagai subsidi silang.  Seperti halnya yang dilakukan oleh JBL dalam cerita di atas, pihaknya mengorbankan kualitas kabel untuk mendapatkan kualitas yang baik di segi suara dan harga. Hal tersebut cukup masuk akal karena JBL merupakan perusahaan yang menjual produk  yang berkaitan dengan audio, sehingga dapat dipastikan Orang yang membeli JBL  berarti ia tertarik untuk mencicipi kualitas suara cara dari produknya. Sehingga ketika orang tersebut telah tertarik dengan kualitas suaranya, diharapkan orang tersebut akan  mengupgrade pilihannya ke kualitas yang lebih baik.Jadi pihak JBL menggunakan earphone tersebut sebagai tester untuk pengguna baru JBL. Dengan harga yang relatif murah, pembeli pun akan terseleksi dengan sendirinya. Orang yang tertarik akan suara dari JBL pasti akan membeli produk yang lebih baik daripada ada produk JBL C100SI sedangkan ketika konsumen tidak memutuskan untuk membeli produk yang lebih baik, JBL sudah mendapatkan keuntungan dari earphone tester tersebut.
Namun trik iklan seperti ini kadang juga dimanfaatkan oleh pengiklan dengan dalih hiperbola sehingga tercipta visual yang sedikit rancu atau terkesan menipu. Hal ini yang harus dicermati oleh konsumen agar tidak tertipu dengan mindsetnya sendiri.



Andrean Nur Fauzi - 18107030063 - Advertising A

No comments:

andreannfz